Mikirin : Sandwich Generation



Sandwich generation itu nggak seenak sandwich yang dijual di bakery. Ini tentang satu generasi yang keadaan finansialnya kritis karena harus membiayai orang tua dan anak sekaligus.

Kembali lagi ke random talks setelah lama tidak bersua. Harusnya aku banyak menulis saat harus diam dirumah seperti ini. Tapi sifat menunda-nundaku bangkit, belum lagi pikiran "ah ngeblog sekarang ga ada duitnya lagi" bikin males nulis apa-apa.

Padahal, dulu juga meski ga dibayar tetap nulis. Nulis apa aja, ngalir. Ga perlu dipikirin panjang-panjang.

Balik ke topik roti lapis. Sebenarnya ga perlu liat jauh-jauh buat nyari contoh. Keluargaku, dan mungkin rata-rata keluarga di provinsi ini semuanya bertipe roti lapis. Orang dewasa menangung kebutuhan 4-5 orang sekaligus, sampai tidak punya uang untuk menyenangkan diri sendiri.

Semuanya terjadi tanpa sadar. Tiba-tiba saja orang tua mulai kasih kode buat membeli sesuatu. Anak sudah mulai menuntut uang jajan. Gaji ga cukup, meskipun udah beberapa kali dikasih bonus dan kerja sampingan. Kredit jadi jalan keluar, padahal dimasa depanpun masih banyak pos-pos pengeluaran baru yang bermunculan.






Keadaan diperparah dengan minimnya pengetahuan finansial. Tidak sedikit kasus orang terjebak dalam hutang sampai dikejar rentenir, atau kehilangan tabungan karena ditipu asuransi x mlm y. Semua yang mengiming-imingi keuntungan maksimal diikuti seperti kerbau yang dicucuk muncungnya. Tidak tahu kalau ujungnya hanya penderitaan.

Well, mungkin tidak semua orang menanggapi kondisi roti lapis ini sebagai sebuah beban. Ada yang bisa mengatur pos-pos pengeluaran, dan merasa bahagia hanya dengan berkumpul dengan orang-orang tercinta.

Aku sendiri juga keturunan roti lapis (lha kok jadi lucu bahasanya) sedang mengatur strategi supaya nanti tidak tergencet ditengah. Salah satunya ya, menahan diri untuk tidak nikah muda. Keuntungan menjomblo, tidak harus memikirkan pernikahan, hehe.

Dah segitu aja dulu. Nanti kubagi lagi pemikiranku tentang topik lain 😛