Suka Duka Merawat Kucing Persia | Dokter Spesialis Hewan di Bengkulu


Fira dimata teman-teman selalu akrab dengan kata "kucing". Kalau teman lama sih wajar, karena sering dengar celotehku yang kesulitan merawat belasan kucing. Kalau teman-teman baru, langsung tahu dari feed media sosialku yang sesekali disisipi oleh keberadaan makhluk berbulu nan imut dan lucu. 

Cats, hewan piaraan yang lucu imut dan uwu. Bisa dilihat berjam-jam dan nggak bosan. Apalagi pas masih zaman kitten. Ya ampun itu ngeliatin kucing tidur aja kayak ngelihat keajaiban dunia nomor delapan. 

Keluargaku mulai memelihara kucing sejak aku kelas 2 SMA. Sekitar tahun 2012 mungkin ya. Sebelumnya sudah pernah pelihara kucing, tapi ya kayak kucing liar yang datang terus dipelihara atau ada kucing dikasih orang. Dipelihara beberapa minggu tapi umurnya nggak ada yang panjang. Tahun 2012 itu kusebut titik awal karena mama benar-benar mau serius memelihara. 


Jadi kami diajak rapat (tumben-tumben lho ada rapat keluarga). Waktu itu mama minta izin buat melihara kucing persia. Dan bukan cuma melihara biasa tapi beneran sampai ngedatangin kucing dari Jakarta. Pengen jadi breeder gitu. 

Pussy, kucing pertama kami


Waktu itu aku sempat menolak, karena aku orangnya tidak mau ribet. Memelihara kucing ras, pastilah sulit dan butuh biaya. Tapi mama sangat semangat dan abah mendukung, ya apa boleh buat. Sepasang kucing persia datang dari Jakarta. Rangka badannya lebih gemuk daripada kucing kampung dan bukunya tentu lebih halus. Tidak seperti kucing anggora yang dulu pernah kami piara, kucing-kucing persia ini lebih baik dalam membersihkan diri. Aku yang awalnya menentang jadi luluh. Malah, pussy, salah satu dari kedua kucing generasi pertama itu akrab sekali denganku. 

Setelah peranakan pertama berhasil, mama mulai berani mendatangkan kucing persia lainnya. Ada yang bersertifikat sampai ada nama kakek dan neneknya. Ada yang rasnya scottish yang nauzubillah aktifnya. Pernah juga ada yang himalayan. 

Jumlah kucing dirumah pernah mencapai duapuluhan lebih. Karena ada dua kucing betina yang melahirkan bersamaan waktu itu. Meskipun mama yang serius pelihara kucing, tapi yang kena imbasnya membersihkan kotoran kan tetap anak-anaknya, haha. Jadilah memelihara kucing terasa berat ketika harus menyekop kotoran kucing dan mengepel kamar kucing (iya karena kucingnya ras, kami sampai menyiapkan satu kamar khusus untuk kandang-kandang. Kalau dilepas kan bisa kabur/diculik orang). 

Kucing persia tentu berbeda dengan kucing kampung yang mandiri. Mereka tidak bisa diberi pakan ikan, jadi setiap bulan harus menyetok makanan kucing. Pas lagi banyak-banyaknya, harus beli pakan yang sekarung isi 20kg yang harganya sekitar 350an ribu. Dan itu habis dalam 2 minggu. Belum lagi kalau ada anak kucing, kadang mereka kurang mendapat susu dari induknya. Jadi harus dikasih pake dot. Susu bubuk buat kitten.. mahal.. haha. Nggak bisa dikasih sembarang susu. 

Titik balik kisah perkucingan keluarga kami dimulai sejak 2018, dimana aku sudah mulai mengeluh pada mama kalau kucing kami terlalu banyak. Apalagi mama sudah tidak terlalu aktif di komunitas kucing bengkulu. Selain itu aku sedih karena pussy mati. Pussy memang sudah berumur, sekitar 6 tahun ketika meninggal, tapi diakhir hidupnya dia habiskan dalam kandang karena aku sibuk kuliah. Apakah kucing yang lain juga akan hidup seperti itu? 

Demoku berhasil karena mama akhirnya memutuskan untuk melepas beberapa kucing ras yang masih tersisa. Hanya Owi dan kedua anaknya (Huta dan Mochi) saja yang dibiarkan karena Owi adalah kucing favoritku setelah pussy meninggal dan aku yang merawat kedua anaknya sejak lahir. Setelah aku KKN, kucingnya jadi sisa 2 karena Mochi diadopt teman mama.